Tetangga saya adalah seorang Kristen, dia dan keluarganya memberikan saya hadiah untuk menyambut hari Natal, dan saya tidak dapat menolak hadiah tersebut agar dia tidak marah! Apakah saya boleh menerima hadiahnya sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menerima hadiah dari orang-orang kafir?
Al-Hamdulillah
Pertama:
Hukum asal adalah boleh menerima hadiah dari orang kafir untuk melunakkan hati mereka atau menarik minat mereka masuk Islam, sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menerima hadiah dari orang kafir, seperti hadiah dari Raja Muqauqis dan yang lainnya.
Imam Bukhari memberi judul pada salah satu bab dalam kitab Shahihnya, ‘Bab Menerima Hadiah Dari Orang-orang Musyrik’ . Beliau, rahimahullah, berkata, ‘Abu Hurairah berkata, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, bahwa Nabi Ibrahim hijrah bersama Sarah, lalu dia masuk ke sebuah perkampungan yang di dalamnya terdapat raja lalim, lalu sang raja berkata, ‘Berikan dia (Sarah) hadiah’.
Begitu pula Nabi shallallahu alaihi wa sallam diberi hadiah berupa kambing yang di dalamnya terdapat racun. Abu Humaid berkata, ‘Raja Ailah (Palestina) memberi hadiah kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam berupa keledai baglah (anak dari perkawinan kuda dan keledai) berwarna putih, lalu beliau menyelimutinya dengan kain burdah….” Kemudian dia mengisahkan seorang wanita Yahudi yang memberi hadiah kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berupa kambing yang telah diberi racun.
Kedua:
Dibolehkan bagi seorang muslim untuk memberi hadiah bagi orang kafir dan musyrik dengan maksud untuk melunakkah hatinya dan menarik minatnya masuk Islam, khususnya jika dia merupakan kerabat atau tetangga. Umar radhiallahu anhu memberi hadiah baju kepada saudaranya yang masih musyrik semasa di Mekah.” (HR. Bukhari, no. 2619)
Namun jika hadianya merupakan sesuatu yang dimanfaatkan untuk merayakan Hari Raya mereka, seperti makanan, lilin dan semacamnya, maka hal itu merupakan perkara yang sangat besar keharamannya, bahkan sebagian ulama menganggap perbuatan tersebut sebagai kekufuran.
Az-Zaila’i dalam kitab ‘Tabyinul Haqa’iq’ (mazhab Hanafi), 6/228, berkata, ‘Memberi hadiah dalam rangka Hari Nairuz atau festivalnya tidak dibolehkan.’ Maksudnya bahwa hadiah atas nama kedua hari tersebut diharamkan, bahkan menyebabkan kekufuran.
Abu Hafs Al-Kabir rahimahullah berkata, ‘Walaupun seseorang beribadah kepada Allah selama lima puluh tahun, kemudian ketika datang hari Nairuz, lalu dia memberi hadiah berupa telor kepada sebagian kaum musyrik dengan tujuan untuk mengagungkan hari tersebut, maka sungguh dia telah kafir dan amalnya gugur.’
Pengarang kitab Al-Jami Ash-Shagir, berkata, ‘Jika seorang muslim memberi hadiah kepada muslim lainnya pada hari Nairuz, bukan untuk tujuan mengagungkan hari tersebut, akan tetapi sebatas kebiasaan yang berlaku pada sebagian masyarakat, maka hal tersebut tidak kafir, akan tetapi selayaknya dia tidak melakukannya dengan mengkhususkan hari tersebut. Hendaknya dia melakukannya sebelum atau sesudahnya agar tidak menyerupai kaum tersebut. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.’
Juga dikatakan dalam kita Jami Al-Ashgar, seorang yang membeli sesuatu pada hari Nairuz, dia tidak membelinya sebelumnya. Apabila tujuannya adalah untuk mengagungkan hari tersebut sebagaimana orang-orang musyrik mengagungkannya, maka dia telah kafir. Jika tujuannya sebatas makan, minum dan bersenang-senang, maka tidak kafir.’
Dikatakan dalam kitab ‘At-Taj Al-Iklil’ (mazhab Maliki), 4/319, ‘Ibnu Qasim menyatakan makruh memberi hadiah kepada seorang Nashrani pada hari rayanya sebagai hadiah baginya, begitu pula makruh memberi hadiah kepada Yahudi berupa daun korma pada hari rayanya.’
Dikatakan dalam Al-Iqna (mazhab Hambali), ‘Diharamkan menyaksikan hari raya orang Yahudi dan Nashrani serta berjualan kepada mereka pada hari tesebut atau memberi hadiah karena hari raya mereka.’
Bahkan tidak boleh bagi seorang muslim memberi hadiah bagi muslim lainnya karena hari raya tersebut, sebagaimana telah disebutkan dalam ucapan kalangan mazhab Hanafi. Syaikhul Islam rahimahullah berkata, ‘Siapa yang memberi hadiah kepada kaum muslimin pada hari-hari raya tersebut berbeda dengan kebiasaan selain di waktu hari raya, maka hadiahnya tidak diterima, khususnya jika hadiahnya digunakan untuk menyerupai mereka (orang kafir), seperti hadiah berupa lilin dan semacamnya dalam hari Natal, atau hadiah berupa telor, laban, kambing pada hari Kamis di akhir puasa mereka. Begitu pula tidak boleh memberi hadiah kepada kaum muslimin karena hari rayanya, khususnya jika digunakan untuk menyerupai mereka sebagaimana telah kami sebutkan.’ (Iqtidha Ash-Shiraatal Mustaqim, 1/227)
لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (سورة الممتحنة:8.(
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah:
Kedua:
Adapun menerima hadiah dari orang kafir pada hari raya mereka tidak mengapa, dan tidak dianggap berpartisipasi atau mengakui perayaan tersebut. Hadiah tersebut boleh diambil dengan tujuan melunakkan hati mereka dan medakwahkan mereka kepada Islam. Allah telah memerintahkan perbuatan baik dan sikap adil kepada orang kafir yang tidak memerangi kaum muslimin.
Akan tetapi berbuat baik dan bersikap adil, tidak berarti mencintai dan berkasih sayang, karena mencintai dan berkasih sayang kepada orang kafir tidak dibolehkan, begitu pula hendaknya tidak menjadikannya sebagai kawan dekat, berdasarkan firman Allah Ta’ala,
لا تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الأِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ) سورة المجادلة: 22)
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, Sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. meraka Itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. mereka Itulah golongan Allah. ketahuilah, bahwa Sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung. (QS. Al-Mujadilah: 22)
Begitu juga firman Allah Ta’ala,
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; Padahal Sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, (QS. Al-Mumtahanah: 1)
Dan firman Allah Ta’ala,
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. (QS. Ali Imran: 118)
Allah Ta’ala berfirman,
Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan. (QS. Huud: 113)
Allah Ta’ala berfirman,
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maidah: 51)
Dan dalil-dalil lainnya yang mengharamkan berteman akrab dengan orang kafir serta berkasih sayang kepada mereka.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, rahimahullah berkata, ‘Adapun menerima hadiah dari mereka pada hari raya mereka, terdapat riwayat yang sampai kepada kami bahwa Ali bin Abi Thalib, mendapat hadiah pada hari Nairuz, lalu beliau menerimanya.’
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan, bahwa seorang wanita bertanya kepada Aisyah, dia berkata, ‘Pada kami ada wanita-wanita yang menyusui dari kalangan Majusi. Pada hari raya mereka, mereka memberi hadiah kepada kami,’ Dia (Aisyah) berkata, ‘Adapun sembelihannya janganlah kalian makan, akan tetapi makanlah sayur mayur mereka.’
Dan dari Abi Barzah, bahwa di tengah masyarakatnya terdapat orang-orang Majusi, mereka suka memberi hadiah pada hari Nairuz dan hari festival mereka. Maka beliau berkata kepada keluarganya, ‘Jika berbentuk buah-buahan, maka makanlah, adapun selain itu, maka tolaklah.’
Ini semua menunjukkan bahwa hari raya tidak menyebabkan dilarangnya menerima hadiah dari mereka, akan tetapi hukumnya (menerima hadiah) sama, baik pada hari raya mereka atau tidak. Karena hal itu bukan termasuk membantu mereka atas syiar kekufuran mereka.
Kemudian beliau (Syaikhul Islam Ibnu Taimiah), rahimahullah, mengingatkan bahwa sembelihan Ahli Kitab pada hari raya mereka, meskipun halal, namun jika disembelih karena hari raya, maka tidak boleh dimakan. Beliau berkata, ‘Memakan makanan Ahli Kitab dibolehkan pada hari raya mereka, apakah dengan membelinya atau berasal dari pemberian atau semacamnya, asalkan bukan sembelihan yang disembelih karena hari raya mereka. Adapun sembelihan orang Majusi hukumnya telah diketahui yaitu haram secara mutlak. Adapun sembelihan Ahli Kitab untuk hari raya mereka dan untuk mereka persembahkan kepada selain Allah, adalah sebanding dengan sembelihan kaum muslimin dan kurbannya untuk beribadah kepada Allah Ta’ala. Misalnya mereka menyembelih untuk dipersembahkan kepada Al-Masih atau Az-Zahrah. Imam Ahmad dalam hal ini terdapat dua riwayat, yang paling terkenal dalam keterangannya adalah bahwa hal itu tidak dibolehkan memakannya meskipun tidak menyebut nama selain Allah Ta’ala. Diriwayatkan bahwa pelarangan tersebut juga bersumber dari riwayat Aisyah, Abdullah bin Umar…’ (Iqthida Ash-Shiraatla Mustaqim, 1/251)
Kesimpulannya adalah, dibolehkan bagi anda menerima hadiah dari tetangga anda yang Nashrani pada hari Id mereka, dengan syarat;
1- Hadiah tersebut bukan berupa sembelihan yang disembelih karena hari raya mereka.
2- Hadiah tersebut tidak untuk perkara yang menyerupai mereka pada hari raya mereka, seperti lilin, telor, pelepah dan semacamnya.
3- Hendaknya hal tersebut diiringi dengan penjelasan tentang aqidah Al-Wala’ wal Bara’ (cinta dan taat kepada Allah, Rasul-Nya dan orang beriman serta memutuskan hubungan kepada orang kafir) kepada anak-anak anda, agar tidak tertanam dalam hati mereka cinta terhadap hari raya mereka atau hatinya terpaut dengan orang yang memberi.
4- Tujuan menerima hadiah adalah untuk melunakkan hatinya dan mengajaknya masuk Islam, bukan sekedar basa basi, apalagi mencintai dan berkasih sayang kepadanya.
Apabila hadiahnya berupa perkara yang tidak boleh diterima, maka selayaknya penolakannya diiringi dengan penjelasan dan sebab penolakan. Misalnya dengan mengatakan, ‘Kami menolak pemberian anda karena ini merupakan sembelihan yang disembelih untuk hari raya, dan hal itu tidak halal bagi kami untuk memakannya.’ Atau ‘Pemberian ini hanya untuk mereka yang ikut serta dalam perayaan, sedangkan kami tidak ikut merayakan hari raya ini, karena tidak disyariatkan dalam agama kami dan mengandung keyakinan yang dibenarkan dalam ajaran kami.’ Atau redaksi semacamnya yang menjadi pintu masuk untuk mendakwahi mereka kepada Islam serta menjelaskan bahaya kekufuran yang ada pada mereka.
Seorang muslim wajib memiliki harga diri dengan agama mereka dan menerapkan hukum-hukumnya. Tidak mengorbankan prinsip karena malu atau basa basi kepada seseorang, sesungguhnya lebih berhak untuk dia malu kepada-Nya.
Periksa kembali soal no. 947, dan no. 13642 sebagai tambahan.
Wallahua’lam.
Sumber: http://islamqa.com/id/ref/85108
0 komentar:
Posting Komentar